“Moral
Kendor, Pendidikan Molor (tidur)”
Di
Era Global ini moral bangsa Indonesia tidak semakin baik tetapi malah “Kendor”.
Ini terbukti dengan semakin banyaknya penyimpangan nilai – nilai
yang ada di sekitar kita. Sebagai contoh
adalah banyaknya kasus 63 pelajar di Mojokerto hamil di luar nikah, 62 % pelaku
aborsi anak di bawah umur, Di Jombang (Jawa Timur), seorang siswa Sekolah Dasar
berinisial BS tertangkap membawa puluhan butir pil koplo ke sekolah, pada hari
Kamis tanggal 19 Maret 2009, data Kementerian Kominfo, Pengakses dari kalangan
siswa SMP mencapai 4.500 pengakses, sedangkan 97,2 persen siswa SMU tidak kalah
lagi di Bali Survei Kesehatan Remaja Indonesia (SKRRI) 2002-2003 yang dilakukan
oleh BPS menyebutkan laki-laki berusia 20-24 tahun belum menikah yang memiliki
teman pernah melakukan hubungan seksual sebanyak 57,5 persen dan yang berusia
15-19 tahun sebanyak 43,8 persen.
Semua
itu tidak lain disebab kan oleh beberapa faktor Pendidikan yang molor
(tidur). Seperti Pendidikan formal maupun informal (keluarga). Pendidikan
formal seperti sekolah hanya mementingkan kecerdasan kognitif saja. kecerdasan
kognitif adalah kemampuan intelektual siswa dalam berpikir, mengetahui dan
memecahkan masalah. Tanpa mengajarkan kecerdasan afektif. Kecerdasan afektif
adalah kecerdasan yang dilakukan melalui
sikap, emosi, minat, nilai hidup dan operasi siswa. Sebagai contoh adalah
Sekolah hanya mengajarkan teori – teori saja seperti Matematika, Sains, Bahasa dan lain
sebagainya. Namun Sekolah tidak mengajarkan bagaimana menyelesaikan persoalan
dalam kehidupan. Jangan heran ketika siswa- siswi yang nilai mata pelajaran
Kimianya bagus, namun tidak bisa jika di
suruh membuat pupuk. Bahkan ketika pelajaran PKN (Pendidikan Kewarganegaraaan)
banyak siwa – siswi yang tidak memperhatikan pelajaran ini bahkan ada yang
tidur atau main HP sendiri, Padahal di dalam pelajaran PKN itu terdapat sejarah
– sejarah Bangsa Indonesia yang bisa membangkitkan semangat Nasionalisme.Dan
lebih parahnya Sekolah hanya menghimbau agar siswa - siswi bisa lulus UAN
dengan nilai yang baik atau bahkan nilai yang sempurna tanpa memikirkan cara –
cara apa yang harus di tempuh dalam menyelesaikan permasalahan tersebut.
Pendidikan
informal ( keluarga ) juga demikian, para
orang tua setiap anaknya pulang sekolah mereka selalu bertanya “Berapa nilai
matematika mu nak ?”. Tanpa mereka
menanyakan “Kebaikan apa nak,yang hari ini engkau lakukan?”. Dan sering kali
anak di ajarkan berbohong ketika Tetangganya datang ke rumah untuk meminta uang
arisan atau meminta hutang kepada ibunya, ibunya menyuruh anaknya untuk
mengatakan kepada tetangganya tersebut bahwa ibu sedang pergi atau dengan
alasan yang lainnya. Tidak hanya itu saja orang tua lebih mementingkan
memasukkan anaknya mahal – mahal di Bimbingan Belajar untuk mendapatkan nilai
yang baik daripada menyekolahkan anaknya belajar mengaji di TPA (Tempat
Penitipan Anak) atau TPQ (Tempat Pendidikan Qur’an). Kalau sudah lelah pulang
dari les, biasanya si anak langsung tidur dan tidak mau belajar yang lainnya
lagi.
Tidak
hanya pendidikan formal dan informal saja yang mewarnai pendidikan di Indonesia
namun juga terdapat pendidikan nonformal atau pendidikan dalam masyarakat. Jika
lingkungan masyarakat itu cenderung baik, maka akan mempengaruhi perkembangan
anak. Karena lingkungan masyarakat akan memberikan pengaruh yang sangat berarti
dalam proses pembentukan kepribadian anak. Anak akan memperoleh pengetahuan yang
lebih dalam di masyarakat di bandingkan di sekolah. Namun tidak berarti
lingkungan masyarakat itu selalu baik. Jika lingkungan masyarakt itu buruk, itu
juga akan mempengaruhi perkembangan anak, anak akan menjadi buruk pula. Baik
dan buruknya suatu lingkungan masyarakat pasti akan mempengaruhi perkembangan
anak.
Sehingga
untuk memperbaiki moral anak bangsa yang kendor dibutuhkan lingkungan
pendidikan yang pendukung. Artinya lingkungan formal, informal dan nonformal
harus seimbang dan saling bekerja sama dengan baik agar tujuan pendidikan
tersebut bisa secara utuh dapat dicapai dengan optimal.