Minggu, 17 Juni 2012


                                         “Moral Kendor, Pendidikan Molor (tidur)”

Di Era Global ini moral bangsa Indonesia tidak semakin baik tetapi malah “Kendor”. Ini  terbukti dengan  semakin banyaknya penyimpangan nilai – nilai yang ada di sekitar kita. Sebagai  contoh adalah banyaknya kasus 63 pelajar di Mojokerto hamil di luar nikah, 62 % pelaku aborsi anak di bawah umur, Di Jombang (Jawa Timur), seorang siswa Sekolah Dasar berinisial BS tertangkap membawa puluhan butir pil koplo ke sekolah, pada hari Kamis tanggal 19 Maret 2009, data Kementerian Kominfo, Pengakses dari kalangan siswa SMP mencapai 4.500 pengakses, sedangkan 97,2 persen siswa SMU tidak kalah lagi di Bali Survei Kesehatan Remaja Indonesia (SKRRI) 2002-2003 yang dilakukan oleh BPS menyebutkan laki-laki berusia 20-24 tahun belum menikah yang memiliki teman pernah melakukan hubungan seksual sebanyak 57,5 persen dan yang berusia 15-19 tahun sebanyak 43,8 persen.
Semua itu tidak lain disebab kan oleh beberapa faktor Pendidikan yang molor  (tidur). Seperti Pendidikan formal maupun informal (keluarga). Pendidikan formal seperti sekolah hanya mementingkan kecerdasan kognitif saja. kecerdasan kognitif adalah kemampuan intelektual siswa dalam berpikir, mengetahui dan memecahkan masalah. Tanpa mengajarkan kecerdasan afektif. Kecerdasan afektif adalah  kecerdasan yang dilakukan melalui sikap, emosi, minat, nilai hidup dan operasi siswa. Sebagai contoh adalah Sekolah hanya mengajarkan teori    teori saja seperti  Matematika, Sains, Bahasa dan lain sebagainya. Namun Sekolah tidak mengajarkan bagaimana menyelesaikan persoalan dalam kehidupan. Jangan heran ketika siswa- siswi yang nilai mata pelajaran Kimianya bagus,  namun tidak bisa jika di suruh membuat pupuk. Bahkan ketika pelajaran PKN (Pendidikan Kewarganegaraaan) banyak siwa – siswi yang tidak memperhatikan pelajaran ini bahkan ada yang tidur atau main HP sendiri, Padahal di dalam pelajaran PKN itu terdapat sejarah – sejarah Bangsa Indonesia yang bisa membangkitkan semangat Nasionalisme.Dan lebih parahnya Sekolah hanya menghimbau agar siswa - siswi bisa lulus UAN dengan nilai yang baik atau bahkan nilai yang sempurna tanpa memikirkan cara – cara apa yang harus di tempuh dalam menyelesaikan permasalahan tersebut.
Pendidikan informal ( keluarga ) juga demikian,  para orang tua setiap anaknya pulang sekolah mereka selalu bertanya “Berapa nilai matematika mu nak  ?”. Tanpa mereka menanyakan “Kebaikan apa nak,yang hari ini engkau lakukan?”. Dan sering kali anak di ajarkan berbohong ketika Tetangganya datang ke rumah untuk meminta uang arisan atau meminta hutang kepada ibunya, ibunya menyuruh anaknya untuk mengatakan kepada tetangganya tersebut bahwa ibu sedang pergi atau dengan alasan yang lainnya. Tidak hanya itu saja orang tua lebih mementingkan memasukkan anaknya mahal – mahal di Bimbingan Belajar untuk mendapatkan nilai yang baik daripada menyekolahkan anaknya belajar mengaji di TPA (Tempat Penitipan Anak) atau TPQ (Tempat Pendidikan Qur’an). Kalau sudah lelah pulang dari les, biasanya si anak langsung tidur dan tidak mau belajar yang lainnya lagi.
Tidak hanya pendidikan formal dan informal saja yang mewarnai pendidikan di Indonesia namun juga terdapat pendidikan nonformal atau pendidikan dalam masyarakat. Jika lingkungan masyarakat itu cenderung baik, maka akan mempengaruhi perkembangan anak. Karena lingkungan masyarakat akan memberikan pengaruh yang sangat berarti dalam proses pembentukan kepribadian anak. Anak akan memperoleh pengetahuan yang lebih dalam di masyarakat di bandingkan di sekolah. Namun tidak berarti lingkungan masyarakat itu selalu baik. Jika lingkungan masyarakt itu buruk, itu juga akan mempengaruhi perkembangan anak, anak akan menjadi buruk pula. Baik dan buruknya suatu lingkungan masyarakat pasti akan mempengaruhi perkembangan anak.
Sehingga untuk memperbaiki moral anak bangsa yang kendor dibutuhkan lingkungan pendidikan yang pendukung. Artinya lingkungan formal, informal dan nonformal harus seimbang dan saling bekerja sama dengan baik agar tujuan pendidikan tersebut bisa secara utuh dapat dicapai dengan optimal.

Jumat, 13 April 2012

SISTEM PENDIDIKAN DI INDONESIA DARI ZAMAN PENJAJAHAN HINGGA REFORMASI

2.1       SISTEM PENDIDIKAN PRA KEMERDEKAAN (MASA PENJAJAHAN)
2.1.1    PENDIDIKAN PADA ZAMAN PENJAJAHAN BBELANDA
Penelusuran Kebijakan pendidikan di zaman Belanda dibagi dalam 4 periode besar berdasarkan pemerintahan yang berkuasa pada masa tersebut. Periode yang pertama adalah periode awal Belanda menginjakkan kakinya di bumi nusantara dan  mendirikan VOC; periode yang kedua adalah masa pemerintahan Hindia Belanda yang menggantikan VOC yang tumbang karena kebangkrutannya; periode yang ketiga adalah masa pemerintahan Inggris yang berlangsung sangat singkat tetapi berandil besar dalam kemunduran pendidikan di bumi nusantara; periode yang keempat adalah kembalinya kekuasaan di bumi nusantara ini pada pemerintahan Hindia Belanda hingga berpindah tangan pada pemerintahan Jepang. Pada pemerintahan Hindia Belanda yang termasuk dalam empat periode besar tersebut, periodisasinya dibagi lagi dalam sub-sub yang telah kecil berdasarkan masa pemerintahan Gubernur Jenderal pada masa tersebut.

1.      Zaman VOC (1596-1799)
Kondisi pendidikan di zaman VOC bertujuan sebagai misi keagamaan (Protestan), bukan sebagai misi intelektual, adapun tujuan lainya adalah untuk menghasilkan pegawai administrasi yang rendah dan tenaga kerja murah yang terlatih dari kalangan penduduk pribumi di pemerintahan dan gereja. Kurikulum pendidikannya berisi pelajaran agama Protestan, membaca dan menulis. Kurikulum pendidikannya  belum bersifat formal (belum tertulis),dan lama pendidikannya-pun tidak ditentukan dengan pasti. Murid-muridnya berasal dari anak dari golongan pegawai,sedangkan anak dari golongan rakyat jelata tidak diberi kesempatan untuk sekolah. Pada awalnya yang menjadi guru adalah orang Belanda.Kemudian yang menjadi guru digantikan oleh penduduk pribumi, yaitu mereka yang sebelumnya telah dididik di Belanda.
2.      Zaman Pemerintahan Belanda (1799-1811)
Setelah Portugis dihalau oleh Belanda, tidak ada dorongan yang mendesak untuk meluasakan Kristenisasi. Kristenisasi pada masa tersebut adalah untuk memberantas mengaruh Portugis semata. Pada masa tersebut pendidikan mulai memperoleh perhatian yang relatif maju dari sebelumnya. Beberapa prinsip yang diambil pemerintah Belanda diambil sebagai dasar  kebijakannya di bidang pendidikan antara lain:
1)      Menjaga jarak atau tidak memihak salah satu agama tertentu.
2)      Memperhatikan keselarasan dengan lingkungan sehingga anak didik kelak mampu mandiri atau mencari penghidupan guna mendukung kepentingan kolonial.
3)      Sistem pendidikan diatur menurut pembedaan lapisan sosial,khusus-nya yang ada di Jawa.
4)      Pendidikan diukur dan diarahkan untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang dapat dimanfaatkan sebagai pendukung supermasi politik dan ekonomi pemerintah kolonial. Jadi secara tidak langsung Belanda telah memanfaatkan kelas aristokrat pribumi untuk melanggengkan status qou kekuasaan kolonial di Indonesia.

2.1.2    ZAMAN PENDUDUKAN INGGRIS (1811-1816)
Keadaan ekonomi yang  sangat sulit pada masa itu,kemudian semakin dipertajam dengan kewajiban untuk membayar pajak, sehingga rakyat harus bekerja lebih ekstra lagi agar kewajibannya dapat dipenuhi. Raffles lebih berminat dalam mengadakan penelitian untuk menelusuri kebudayaan Jawa dibanding dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pendidikan. Selama pemerintahan Raffles, sekolah-sekolah banyak yang tidak terurus dan mati dengan sendirinya karena pemerintahan pada masa itu tidak menganggarkan dana untuk pendidikan rakyat jajahan.

2.1.3    ZAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA (1816-1942)
Komisaris Jenderal pada masa tersebut cukup menaruh perhatian di bidang pendidikan. Terbukti setelah beberapa waktu berselang dari proses serah terima daerah jajahan dari pihak Inggris ke pihak Belanda, ia menunjuk CGC Reinwardt sebagai Direktur Pengajaran. Pada masa pemerintahannya yang terakhir, dikeluarkan peraturan persekolan yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai pengawasan dan penyeleggaraan pengajaran. Salah satunya adalah peraturan umum tentang pendidikan sekolah, yang berisi bahwa “Pendidikan hanya untuk orang Belanda saja”.Bahkan peraturan ini berlaku hingga tahun terakhir pemerintahan Gubernur Jenderal Van der Capellen.
Pada tahun 1817,didirikan sekolah dasar khusus untuk anak-anak dari golongan bangsa Belanda (Europee Lagere School ).Bahasa pengantar di sekolah-sekolah tersebut adalah bahasa Belanda dan sistem kurikulmnya disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku di Belanda, agar tetap sinergis di berbagai daerah.
1.      Gubernur Jenderal Van der Capellen (1819-1826)
Pada masa awal pemerintahannya, Van der Capellen menerbitkan surat keputusan tertanggal 8 Maret 1819 yang berisi perintah untuk mengadakan pnelitian tentang pendidikan masyarakat Jawa dengan tujuan :
1)      Meningkatkan kemampuan baca tulis masyarakat.
2)      Memperbaiki pelaksanaan undang-undang dan peraturan pemerintah tentang pendidikan sesuai dengan hasil penelitian.

2.      Gubernur Jenderal LPJ Du Bus de Gissignes (1826-1830)
Gubernur Jenderal Du Bus yang diankat oleh raja Willem l untuk menggantikan Van der Capellen ini lebih menitik beratkan pada peningkatkan produksi ekspor sebagai dasar guna memajukan perdagangan dan pajak tanah dan tidak menampakkan kemajuan hasil ekspor. Sementara di bidang pendidikan, belum ditemukan.
3.      Gubernur Jenderal Van de Bosch (1830-1852)
Pada masa pemerintahannya, pencetus tanam paksa ini mulai menyediakan kesempatan untuk pendidikan anak-anak priyayi meskipun jumlahnya sangat sedikit sekali. Tentunya pemberian kesempatanuntuk memperoleh pendidikan tersebut tidaklah setulus kelihatannya, karena hal ini dilakukan dalam rangka menjalin hubungan baik dengan golongan priyayi di pulau Jawa. Pendirian sekolah bagi anak-anak Belanda dilakukan pada jenjang di atas sekolah dasar,sebagai contoh pendirian sekolah menengah di Surakarta pada tahun 1832.
Meskipun pada masa ini kebutuhan pendirian sekolah tinggi, realisasinya tidak didukung dengan pengadaan dana yang optimal. Kekurangan dana dalam bidang pendidikan disiasati dengan model magang. Anak-anak golongan priyayi ditempatkan magang sebagi pesuruh di rumah-rumah Belanda. Sambil bekerja, mereka diajarkan bahasa Belanda dan calistung.

4.      Gubernur Jenderal Rochussen (1848-1852)
Pada bulan September 1848 masa pemerintahan Gubernur Jenderal Rochussen, barulah terlihat komitmen pemerintah Belanda untuk mendirikan sekolah-sekolah dasar bagi penduduk pribumi dengan pengantar bahasa Melayu dan dengan diterbitkannya Dekrit Kerajaan yang mengatur pendirian Volksschool atau Sekolah Rakyat. Fokus pengajaran pada SR hanya sebatas pengajaran calistung dengan bahasa Melayu atau bahasa lokal penduduk setempat. Kebijakan pendidikan pada masa ini  tidak tulus untuk mencerdaskan penduduk negeri jajahan semata, pendidikan ini ternyata juga memuai kritik dari warga Belanda sendiri. Kritik Van Hoevell terhadap perkembangan sekolah rakyat (Inlanschesholen): “Pemerintah hanya menyiapkan beberapa gelintir manusia saja untuk menjalanka roda pemerintahan, tidak untuk memuaskan keinginan orang Jawa pada pendidikan”.

5.      Pemerintan Hindia Belanda Pada Pertengahan Hingga Akhir Abad 19M.
Secara umum,perkembangan pendidikan dan pengajaran sampai akhir abad ke-19 menunjukkan kecenderungan-kecenderungan yang dipolitisir, sebagaimana kebijakan–kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda berikut ini :
Pendidikan dan pengajaran harus bersifat netral dan tidak berdasarkan agama.Hal ini jelas dilakukan karena pengaruh aliran liberalisme yang sedang berkembang di Nederland.Lagipula, model pendidikan tradisional yang sudah ada seperti pesantren dan langgar, dianggap sangat sukar untuk diintegrasikan dengan pendidikan yang liberal. Sehingga untuk memojokkan pendidikan berbasis agama islam dilakukan Belanda dengan mengeluarkan peraturan yang rumit secara birokratis, tidak memberikan dukungan pendanaan dan mempercepat kenaikan status pegawai pangreh praja yang sekuler kebarat-baratan meskipun memeluk islam.
Bahasa Belanda tidak di ajarkan di sekolah-sekolah pribumi, dengan alasan untuk tetap melestarikan kebudayaan lokal dengan menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah pribumi. Padahal kebijakan ini ditempuh karena ketakutan pemerintah Belanda bila penduduk jajahan mengetahui bahasa mereka,sehingga mereka akan mengetahui strategi kolonialisasi Belanda.
Pembukaan sekolah pribumi hanya didasarkan sebatas kebutuhan praktis pemerintah Belanda saja,misalnya untuk kebutuhan pegawai rendahan dan tidak untuk mencerdaskan penduduk jajahan. Pendidikan lebih dikhususkan  pada anak-anak golongan priyayi. Dengan kebijakn tersebut, diharapkan penduduk yang lebih rendah status sosialnya dapat mudah ditundukkan karena pemerintah Belanda telah memegang golongan priyayi yang merupakan kaum elit.
Sistem pendidikan yang dualistis pada masa ini juga membuat garis pemisah yang tajam antara dua subsistem: sistem sekolahan Eropa dan sistem sekolah pribumi.Tetapi pada tahun 1892 akhirnya dilakukan restrukturasi terhadap sistem persekolahan karena kebutuhan yang sangat besar terhadap pegawai rendahan yang bisa berbahasa Belanda, sebagaimana dijelaskan berikut :
·         Sekolah kelas satu (ongko sidji) atau eerste klasse untuk anak-anak golongan priyayi dengan pengajaran bahasa Belanda.
·         Sekolah kelas dua (ongko loro) atau tweede klasse untuk rakyat kebanyakan tanpa pengajaran bahasa Belanda.

2.1.4    PERIODE POLITIK ETIS (1900-1942)
Pada tahun 1899, seorang berkebangsaan Belanda, Van Deventer menulis sebuah artikel yang berjudul ‘Een Eereschuld’ (utang kehormatan) yang berisi kerisauan kaum intelektual Belanda terhadap dehumanisasi di Hindia Belanda yang terpengaruh kapitalisme sangat kuat. Begitu ironis karena Belanda pada masa tersebut telah menggembar-gemborkan dirinya sebagai bangsa yang humanis dan memiliki peradaban yang sangat tinggi, tetapi melakukan politik pengerukan keuntungan secara besar-besaran dengan sistem tanam paksa (1830) dan sistem liberal (1870). Diungkapkan pula oleh Van Deventer bahwa pemerintah Belanda berhutang pada penduduk Hindia Belanda lebih dari 187 juta gulden yang mana harus dibayarkan kembali dengan menyediakan anggaran khusus untuk peningkatan kesejahteraan mereka di segala bidang.
Munculnya artikel tersebut akhirnya memicu perubahan yang sangat drastis pada kebijakan – kebijakan pemerintah Belanda terhadap penduduk jajahan di Hindia Belanda, yaitu dengan dicanangkannya politik etis atau politik balas budi secara resmi pada tahun 1901 oleh ratu Belanda. Meski kerajaan Belanda terlibat sangat tulus dalam perubahan kebijakan di negeri jajahan melalui politik etis yang  terjadi di Hindia Belanda tidaklah demikian. Pasalnya,sistem yang diterapkan di Hindia Belanda masih tetap dimaksudkan untuk mempertahankan keberlangsungan kekuasaan kolonial dan tidak berupaya untuk mencerdaskan kehidupan penduduk jajahan semata.

2.1.5    Pendidikan Zaman Jepang
Meski zaman pendudukan Jepang di bumi nusantara sangatlah singkat, tetapi pengaruhnya bagi perkembangan dunia pendidikan di Indonesia sangatlah besar. Tujuan pendidikan pada masa itu telah disisipi misi Nipponisasi dan juga upaya-upaya pemberdayaan bangsa Indonesia untuk membantu kepentingan perang jepang.Misi tersebut dilakukan dengan mendekati tokoh-tokoh kiai yang menjadi panutan umat islam agar dapat dijadikan sandaran politik mereka.
2.1.6    Pendidikan yang Diselenggarakan Kaum Pergerakan Kebangsaan (Pergerakan Nasional )
Pendidikan oleh pergerakan Kebangsaan (Pergerakan Nasional) sebagai sarana perjuangan kemerdekaan dan penyelenggarakan pendidikan nasional. Latar belakang sosial dan budaya timbulnya pergerakan nasional. Kebijakan pemerintah Belanda dalam bidang politik, ekonomi dan pendidikan sangat merugikan bangsa Indonesia.Pemerasan yang dilakukan oleh Belanda terhadap bangsa dan kekayaan Indonesia,telah menimbulkan penderitaan dan kemiskinan. Perbedaan kedudukan dan kehidupan yang mencolok antara bangsa Belanda dan bangsa Indonesia sangat nyata,baik dalam kedudukan social maupun pemberian gaji.
Kebijakan dan praktek yang diselenggarakan rakyat dan kaum pergerakan antara lain:
a.      R.A. Kartini, Rd. Dewi Sartika dan Rohanna Kuddus.
Sekalipun tinggal di daerah berjauhan, R.A. Kartini, Rd. Dewi Sartika dan Rohanna Kuddus menghadapi masalah yang relatif sama. Mereka melihat kepincangan dalam masyarakat dan ketidak adilan terhadap wanita, sehingga menghambat kemajuan kaum wanita. Mereka masing –masing berupaya memperjuangkan emansipasi wanita demi perbaikan kedudukan dan derajat kaum wanita untuk mengejar kemajuan melalui upaya pendidikan.
b.      Budi Utomo
Pada tahun 1908 Budu Utomo dalam kongresnya yang pertama (3-4 Oktober 1908) menegaskan bahwa tujuan perkumpulan itu adalah untuk kemajuan yang selaras buat negeri dan bangsa Indonesia,terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan, dagang, teknik industri dan kebudayaan. Untuk itu Budi Utomo pada tahun 1913 mendirikan Darmo-Woro Studiefonds; dan mendirikan tiga Sekolah Netral di Solo dan dua di Yogyakarta pada tahun 1918 mendirikan Kweekschool di Jawa Tengah, kemudian Sekolah Guru Kepandaian Putri untuk Sekolah Kartini, enam Normal School dan sepuluh Kursus Guru Desa,dsb.

c.       Muhammadiyah
Pada tanggal 18 November 1912 K.H. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi perkumpulan Muhammadiyah di Yogyakarta. Didirikan dalam rangka memberikan pendidikan bagi bangsa Indonesia untuk mengatasi Kristenisasi dan untuk mewujudkan masyarakat islam yang melaksanakan ajaran Al-Qur’an dan Hadits sesuai yang diajarkan Nabi Muhammad S.A.W.
                                    Dasar dan Tujuan Pendidikan.
Pendidikan Muhammadiyah berdasarkan islam dan berpedoman kepada Al-Qur’an dan Hadits. Tujuan Pendidikan Muhammadiyah adalah membentuk manusia muslim berakhlak mulia, cakap, percaya diri dan berguna bagi masyarakat.
                                    Penyelenggaraan Pendidikan
Untuk mencapai tujuannya Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, di bawah pimpinan Majelis Pengajaran. Sekolah-sekolah itu disamping memberikan pendidikan agama islam, memberikan juga berbagai mata pelajaran seperti di sekolah-sekolah pemerintah.
d.      Perguruan Taman Siswa
Pada mulanya Ki Hajar Dewantara (1889-1959) bersama rekan- rekanya berjuang di jalur politik praktis,selanjutnya mulai tahun 1921 perjuangan difokuskan di jalur pendidikan. Hal ini Beliau lakukan mengingat Departemen Pengajaran Pemerintah Belanda bersikap diskriminatif mengenai hak dan penyelenggaraan pendidikan bagi bangsa kita.
Menurut Ki hajar Dewantara penjajahan tidak akan lenyap jika dilawan dengan pergerakan politik saja. Melainkan harus dipentingkan penyebaran benih hidup merdeka di kalangan rakyat dengan jalan pengajaran yang disertai pendidikan nasional. Pada tanggal 3 juli 1992 di Yogyakarta Ki Hajar Dewantara mendirikan “National Onderwijs Institut Taman Siswa” yang kemudian menjadi “Perguruan Nasional Taman Siswa”.
                                    Tujuan Pendidikan.
Tujuan Pendidikan Ki Hajar Dewantara adalah memberi kesempurnaan hidup lahir batin sebagai satu-satunya untuk mencapai hidup selamat dan, baik bahagia sebagai individual maupun sebagai anggota masyarakat.
                                    Metode Pendidikan.
Dalam pelaksanaan pendidikan tersebut berpedoman pada semboyan “Ing ngarso sung tulodo,Ing madya mangun karsa,Tut wuri handayani.Semboyan tersebut mempunyai arti kalau pendidik berada di muka,dia harus memberi teladan kepada anak didiknya,Jika pendidik berada di tengah,pendidik harus memberikan semangat,berswakarya dan berkreasi pada anak didik,Ketika pendidik berada di belakang,pendidik megikuti dan mengarahkan peserta didik agar berani berjalan ke depan dan sanggup bertanggung jawab.Dengan kata lain,seorang pendidik atau pemimpin harus bersikap sebagai pengasuh yang mendorong,menuntut dan membimbing anak didiknya.
2.2       PENDIDIKAN PADA MASA KEMERDEKAAN
Perkembangan Pendidikan semenjak kita mencapai kemerdekaan memberikan gambaran yang penuh dengan kesulitan. Pada masi ini,usaha penting dari pemerintah Indonesia pada permulaan adalah tokoh pendidik yang telah berjasa dalam zaman kolonial menjadi menteri pengajaran. Dalam kongres pendididikan Menteri Pengajaran dan Pendidikan tersebut membentuk panitia perancang RUU mengenai pendidikan dan pengajaran. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk sebuah sistem pendidikan yang berlandaskan pada ideologi Bangsa Indonesia sendiri. Tujuan pendidikan nasional adalah untuk menciptakan warga Negara yang sosial,demokratis,cakap dan bertanggung jawab dan siap sedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk Negara.
2.3       SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA PADA MASA ORDE BARU  1966-1998
Pembangunan di bidang pendikan mempunyai dua fungsi dalam keseluruhan kerangka pembangunan Ekonomi :
1.                  Mengusahakan agar kesempatan mendapatkan pendidikan menjadi terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.
2.                  Meningkatkan secara berangsur-angsur kualitas sumber daya manusia Indonesia melalui pendidikan yang bermutu.

·         Kurikulum 1964
Pokok-pokok pikiran kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga dipusatkan pada program Pancawardhana, yaitu pengemban moral, kecerdasan, emosional dan jasmani.

·         Kurikulum 1968
Kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat dan sehat jasmani, moral, budi pekerti dan agama. Isi pendidikan ini adalah megarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.

·         Kurikulum1975
Kurikulum 1975 berdasarkan pada tujuan untuk menganut integrative dalam arti bahwa setiap pelajaran memiliki arti dan peranan yang menunjang kepada tercapainya tujuan yang lebih integrative.Menekankan pada efisiensi dan efektivitas dalam hal daya dan waktu.

·         Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 menekankan pada pola pengajaran yang berorientasi pada teori belajar mengajar dengan kurang memperhatikan isi pelajaran.


·         Kurikulum 1994
Kurikulum 1994 dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai dengan undang-undang no.2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini berdampak pada sistem pembagian waktu pelajaran,yaitu dengan mengubah dari sistem semester ke sistem caturwulan. Dengan sistem caturwulan yang pembagiannya dalam satu tahun menjadi tiga tahap di harapkan dapat member kesempatan bagi siswa untuk dapat menerima materi pelajaran cukup banyak.

























            BAB III
PENUTUP

3.1       SIMPULAN
3.1.1    Meskipun dalam keadaan terjajah, upaya meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia melalui pendidikan selali diupayakan baik secara individual maupun lewat organisasi. R.A Kartini, Dewi Sartika, Rohana Kuddus, Budi Utama, Muhammadiyah,Perguruan Taman Siswa,merupakan sebagian anak bangsa dan organisasi sosial keagamaan yang berjuang demi kualitas anak bangsa.
3.1.2    Peningkatan mutu pendidikan umum dilaksanakan melalui peningkatan mutu guru dan peningkatan mutu kurikulum. Kurikulum 1968 bertujuan bahwa peningkatan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat  jasmani,mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani,moral,budi pekerti, dan keyakinan beragama. Kurikulum 1975 menganut pendekatan sistem instruksional (PPSI). Kurikulum 1975 pada sekolah menengah pertama dibagi dalam 3 kelompok, yaitu :
1)   Pendidikan Agama,Pendidikan Moral Pancasila,Olah Raga dan Kesehatan.
2)   Pendidikan Kesenian
3)   Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah, Bahasa Inggris,Ilmu pengetahuan Sosial,Matematika,Ilmu Pengetahuan Alam dan Pendidikan Keterampilan.
Kurikulum 1984 memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1)   Berorientasi pada tujuan Instruksional.
2)   Pendekatan pengajarannya berpusat pada anak didik melaui Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA).
3)   Materi pelajaran dikemasdengan menggunakan pendekatan spiral.
4)   Materi disajikan berdasarkan tingkat kesiapan atau kematangan siswa.
Terdapat ciri-ciri yang menonjol dari pemberlakuan kurikulum1994,di antara-
nya sebagai berikut :
1)   Pembagian tahapan pelajaran di sekolah dengan sistem caturwulan.
2)   Kurikulum 1994 bersifat populis.
3)   Dalam pelaksanaan kegiatan,guru hendaknya memilih dan menggunakan strategi yang melibatkan siswa aktif dalam belajar.
4)   Dalam pengajaran suatu mata pelajaran hendaknya disesuaikan dengan konsep atau pokok bahasan.
5)   Pengajaran dari hal yang konkrit ke hal yang abstrak.
6)   Dari hal yang mudah ke hal yang sulit dan dari hal yang sederhana ke hal yang komplek.
7)   Pelaksanaan kurikulum diperlukan sebagai petunjuk khusus. 


DAFTAR PUSTAKA
Sundari, dkk. 2011. Landasan Pendidikan. Surakarta : UMS.
Najamuddin. 2005. Perjalanan Pendidikan Di Tanah Air (Tahun 1800-1945). Bandung : Rineka Cipta.
Rickfles,MC. 2001. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta : Serambi.
Supriyadi, Dedi, dkk. 2003. Guru di Indonesia : Pendidikan, Pelatihan, dan Perjuangan sejak Zaman
           Kolonial hingga Era Reformasi. Jakarta : Depdikbud.